Translate

Senin, 08 April 2013

HUKUM PIDANA


                                                     PERCOBAAN (Poging)


Fakultas Hukum
Jurusan Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara

A. Pengertian Percobaan (Poging)
1. Percobaan Menurut KUHP
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan percobaan.
Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu (Soesilo, 1980:59).
Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan:
Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. (Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan) (Lamintang, 1984: 511).
2002 digitized by USU digital library 1
Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.
Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan akta lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut.
Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana.
Menurut Loebby Loqman pembedaan antara kejahatan ekonomi dengan pelanggaran ekonomi ditentukan oleh apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, tetapi jika perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran ekonomi (1996:3).
Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5)). (Soesilo, 1980:61).
2. Percobaan Menurut RUU KUHP Nasional
Ada perbedaan terminologi antara percobaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 KUHP yang berlaku saat ini, dengan percobaan yang diatur menurut RUU KUHP nasional yang diterbitkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan 1999-2000, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Direktorat Perundang-undangan. Terminologi percobaan seperti yang diatur di dalam Pasal 53 KUHP yang berlaku saat ini adalah percobaan melakukan kejahatan, sedangkan menurut RUU KUHP Nasional berubah menjadi percobaan melakukan tindak pidana. Hal ini terjadi karena RUU KUHP Nasional tidak membedakan lagi antara tindak pidana (delik) kejahatan dengan tindak pidana (delik) pelanggaran. Artinya untuk keduanya dipakai istilah tindak pidana. Dengan demikian, KUHP Nasional ini nantinya hanya terdiri dari 2 (dua) buku yaitu Buku Kesatu memuat tentang aturan umum dan Buku Kedua yang memuat aturan tentang tindak pidana dengan tidak lagi membedakan antara delik kejahatan dan delik pelanggaran. Adapun Buku Ketiga KUHP yang berlaku saat ini, yang mengatur tentang delik pelanggaran dihapus dan materinya ditampung ke dalam Buku Kedua dengan kualifikasi tindak pidana.
Alasan penghapusan ini menurut Rancangan Penjelasan KUHP Nasional adalah disebabkan pembedaan antara kejahatan sebagai rechtsdelict dan
2002 digitized by USU digital library 2
pelanggaran sebagai wetsdelict ternyata tidak dapat dipertahankan, karena ada beberapa rechtsdelict yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran (wetsdelict) dan sebaliknya ada pelanggaran yang kemudian dapat dijadikan kejahatan (rechtsdelict) hanya karena diperberat ancaman pidananya.
Percobaan di dalam Rancangan KUHP Nasional diatur dalam Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum, Bab II tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, paragraf 2 tentang Percobaan, Pasal 17 sampai dengan 20.
Pasal 17
(1) Percobaan melakukan tindak pidana, dipidana jika pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang dilarang.
(2) Dikatakan ada permulaan pelaksanaan, jika pembuat telah melakukan:
a. Perbuatan melawan hukum;
b. Secara objektif perbuatan itu langsung mendekatkan pada terjadinya tindak pidana; dan
c. Secara subjektif tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan pada terjadinya tindak pidana.
Pasal 18
(1) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana.
(2) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertangungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Pasal 19
Percobaan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I tidak dipidana.
Pasal 20
Jika tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana telah lebih dari ½ (satu per dua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.
Berdasarkan kepada Penjelasan Pasal 17 Rancangan Penjelasan KUHP Nasional diketahui ketentuan dalam Pasal 17 ini tidak memberikan defenisi tentang percobaan, tetapi hanya menentukan unsur-unsur kapan seseorang disebut melakukan percobaan tindak pidana. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:
a. Pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak pidana yang dituju.
2002 digitized by USU digital library 3
b. Pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang dilarang.
3. Perbandingan
Jika diperhatikan unsur-unsur percobaan yang diatur dalam Pasal 53 KUHP terdapat 3 unsur (syarat) yang harus dipenuhi agar seseorang yang melakukan percobaan dapat dihukum (kapan seseorang disebut melakukan percobaan kejahatan) yaitu:
a. ada niat/kehendak dari pelaku;
b. ada permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c. pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak pelaku.
Berbeda dengan apa yang diatur dalam Pasal 53 KUHP tersebut, percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam RUU KUHP Nasional Pasal 17 disebutkan bahwa ketentuan pasal ini hanya menentukan kapan (bila) seseorang itu melakukan percobaan melakukan tindak pidana, yaitu :
a. Pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak pidana yang dituju.
b. Pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang dilarang.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa terjadi perubahan signifikan dalam menentukan kapan (bila) seseorang itu melakukan percobaan, jika dibandingkan antara percobaan yang diatur dalam Pasal 53 KUHP dengan percobaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 RUU KUHP Nasional.
Dalam hal ini unsur niat yang terdapat dalam percobaan yang diatur dalam Pasal 53 KUHP tidak lagi disebutkan secara eksplisit menjadi salah satu unsur dari percobaan sebagaimana yang diatur Pasal 17 RUU KUHP Nasional. Namun niat ini akan menjadi hal yang penting dalam menentukan kapan seseorang disebut telah melakukan permulaan pelaksanaan.
Hal yang menjadi pertanyaan mengapa niat ini tidak lagi dicantumkan (disebutkan) secara eksplisit sebagai salah satu unsur dari percobaan akan dibahas dalam sub bab berikutnya.
B. Niat / Kehendak (Voornemen)
Jika mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran pada waktu suatu undang-undang disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan (MvT) WvS Belanda 1886 yang merupakan sumber dari KUHP Indonesia yang berlaku saat ini, disebutkan bahwa sengaja (opzet) berarti :
‘de (bewuste) richting van den will op een bepaald wisdrijf (kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu) (Hamzah, 1991: 84).
Beberapa sarjana beranggapan bahwa niat dalam kaitannya dengan percobaan adalah sama dengan semua bentuk kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan berinsyaf kepastian, dan kesadaran berinsyaf kemungkinan). Pendapat demikian dianut antara lain oleh D. Hazewinkel-Suringa, van Hammel, van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen.
Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan kehendak atau maksud. Hazeinkel-Suringa mengemukakan bahwa niat adalah kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan tertentu dalam
2002 digitized by USU digital library 4
keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu yang dikehendaki mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang cara mewujudkannya yaitu akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-reka akan timbul. Maka jika rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai maksud, tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan dalam corak lain (sengaja sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan). (Santoso, 2000:153)
Sebagai contoh, dalam suatu niat (kehendak) untuk melakukan pembunuhan dengan memberikan roti yang mengandung racun kepada seseorang. Dalam hal ini termasuk juga keinsyafannya bahwa kemungkinan sekali seluruh penghuni rumah orang yang dikirim roti tersebut ikut menjadi korban. Kemungkinan orang lain ikut menjadi korban termasuk pula apa yang disebut sebagai niat (kehendak) pada syarat percobaan (Loebby Loqman, 1996: 16).
Hal di atas sesuai pula dengan putusan Hoge Raad tanggal 6 Februari 1951, N.J. 1951 No. 475, m.o. B.V.A.R. yang dikenal dengan automobilist-arrest yang pada tingkat kasasi telah menyatakan seorang pengemudi mobil terbukti bersalah telah melakukan suatu percobaan pembunuhan terhadap seorang anggota polisi, yang kasus posisinya adalah sebagai berikut:
Seorang anggota polisi untuk keperluan pemeriksaan telah memerintahkan pengemudi mobil tersebut untuk berhenti. Namun pengemudi itu ternyata tidak mentaati perintah yang diberikan oleh anggota polisi tersebut, bahkan dengan kecepatan yang tinggi mengarahkan mobil yang dikendarainya langsung ke arah anggota polisi tersebut, dan hanya karena anggota polisi tersebut pada saat yang tepat sempat menyelamatkan dirinya dengan melompat ke pinggir, maka terhindarlah ia dari kematian (Lamintang, 1984:519).
Menurut Hazewinkel-Suringa dalam (Loqman, 1996:17) Hoge Raad mempersalahkan pengemudi dengan percobaan pembunuhan, meskipun secara sepintas mungkin tidak ada rencana untuk membunuh anggota polisi itu. Tetapi kemungkinan yang diinsyafi (disadari) dapat diterima juga sebagai niat. Dalam hal ini niat terwujud dalam sengaja bersyarat (dolus eventualis) atau disebut juga dengan sengaja berinsyaf kemungkinan (opzet bij mogelijkheid bewustzinjn).
Berbeda dengan pendapat sarjana lainnya Vos menyatakan bahwa jika niat disamakan dengan kesengajaan, maka niat tersebut hanya merupakan kesengajaan sebagai maksud saja (Loqman, 1995: 16).
Sedangkan Mulyatno memberikan pendapat hubungan niat dan kesengajaan adalah sebagai berikut:
a. Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabila sudah diwujudkan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak timbul, di sinilah niat sepenuhnya menjadi kesengajaan. Sama halnya dalam delik yang telah selesai.
b. Akan tetapi apabila niat itu belum semua diwujudkan menjadi kejahatan, maka niat masih ada dan merupakan sifat bathin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu “subjektif onrechts-element”.
c. Oleh karena niat tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isi niat itu jangan diambil dari isinya kejahatan apabila kejahatan timbul.
2002 digitized by USU digital library 5
Untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi juga sudah ada sejak niat belum diwujudkan menjadi perbuatan (Loqman, 1995 : 17).
Jika diperhatikan ternyata niat (kehendak) yang merupakan salah satu unsur dari percobaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 KUHP, tidak lagi disebutkan secara eksplisit sebagai salah satu unsur dari melakukan percobaan seperti yang diatur dalam Pasal 17 RUU KUHP Nasional.
Ada beberapa hal yang diperkirakan menjadi dasar tidak disebutkannya niat sebagai salah satu unsur dari percobaan yang diatur dalam Pasal 17 RUU KUHP Nasional:
a. Seperti yang telah dikemukakan oleh Loebby Loqman bahwa tidak seorangpun mengetahui niat orang lain, apabila nit itu tidak diucapkan. Atau dengan kata lain niat seseorang akan diketahui oleh orang lain jika orang yang mempunyai niat itu mengutarakannya (1996:18). Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia berada di alam bathiniah seseorang. Adalah merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit (mustahil) untuk mengetahui dan menentukan apa yang menjadi niat seseorang jika orang tersebut tidak mewujudkan niatnya itu menjadi suatu realita berupa serangkaian perbuatan (tindakan). Suatu hal yang kurang masuk akal jika seseorang mengutarakan niatnya kepada orang lain bahwa ia akan melakukan suatu tindak pidana.
b. Seseorang yang baru berniat untuk melakukan suatu tindak pidana bukanlah merupakan suatu perbuatan yang telah melanggar suatu ketentuan hukum, setidaknya niat masih merupakan suatu keinginan untuk melakukan perbuatan yang masih berada di alam ide seseorang dan belum terwujud sebagai suatu perbuatan yang nyata (real), sehingga akibat dari adanya niat tersebut secara nyata tidak akan mengganggu kepentingan hukum.
c. Menurut syariat Islam memikirkan dan merencanakan sesuatu tindak pidana tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat dipidana, karena seseorang tidak dapat dituntut (dipersalahkan) karena lintasan hatinya atau niat yang tersimpan dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
Tuhan memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukan. (Santoso, 2000: 155).
d. Selain itu ada instrumen lain yang lebih real yang dapat dipakai untuk mengetahui apakah seseorang telah dapat dianggap sebagai orang yang telah melakukan percobaan, yaitu berupa perbuatan persiapan dan permulaan pelaksanaan. Oleh karena itu untuk menentukan telah terjadinya suatu percobaan melakukan tindak pidana dapat dilihat dari rangkaian perbuatan yang dilakukan seseorang yaitu berupa perbuatan persiapan dan permulaan pelaksanaan. Agar seseorang dianggap telah melakukan percobaan, perbuatan yang dilakukannya itu haruslah merupakan suatu permulaan pelaksanaan.
B. Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering)
1. Permulaan Pelaksanaan Menurut Pasal 53 KUHP dan Pendapat Para Ahli Hukum
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia berada di alam bathiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk
2002 digitized by USU digital library 6
mengetahui apa niat yang ada di dalam hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat.
Menurut Loebby Loqman, adalah suatu hal yang musykil apabila seseorang akan mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan (1995: 18).
Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).
Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan (Soesilo mempergunakan istilah permulaan perbuatan).
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Dalam hal ini apakah permulaan pelaksanaan harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari niat” ataukah “permulaan pelaksanaan dari kejahatan”.
Menurut Moeljatno, tidak ada keraguan baik menurut MvT maupun pendapat para penulis bahwa permulaan pelaksanaan dalam hal ini adalah merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan (1985:21).
Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara lain:
a. Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan apa yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan);
b. Yang dimaksud dengan voorbereidingshandelingen dengan uitvoeringshandelingen itu adalah tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya;
c. Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang batas-batas antara uitvoeringshandelingen seperti dimaksud di atas (Lamintang, 1984: 528).
Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu adalah terletak diantara voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan uitvoerings-handelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan). Selanjutnya MvT hanya memberikan pengertian tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya. Sedangkan pengertian dari voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) tidak diberi-kan.
2002 digitized by USU digital library 7
Menurut MvT batas yang tegas antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan oleh wet (Undang-Undang). Persoalan tersebut diserahkan kepada Hakim dan ilmu pengetahuan untuk melaksanakan azas yang ditetapkan dalam undang-undang. (Sudarto dan Wonosutatno, 1987: 17)..
KUHP tidak ada menentukan kapankah suatu perbuatan itu merupakan perbuatan persiapan dari kapankah perbuatan itu telah merupakan permulaan pelaksanaan yang merupakan unsur dari delik percobaan.
Hal senada juga dikemukakan oleh van Hattum, menurutnya sangat sulit untuk dapat memastikan batas-batas antara tindakan-tindakan persiapan (perbuatan persiapan) dengan tindakan-tindakan pelaksanaan, sebab undang-undang sendiri tidak dapat dijadikan pedoman (Lamintang, 1985: 531).
Memang sulit untuk menentukan perbuatan mana dari serangkaian perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan. Berdasarkan MvT hanya dapat diketahui bahwa permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) berada di antara tindakan-tindakan persiapan (uitvoeringshandelingen). Oleh karena itu untuk menentukan perbuatan mana dari serangkaian perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan didasarkan kepada 2 teori yaitu teori subjektif (subjectieve pogingstheori) dan teori objektif (objectieve pogingstheori).
Para penganut paham subjektif menggunakan subjek dari si pelaksanaan sebagai dasar dapat dihukumnya seseorang yang melakukan suatu percobaan, dan oleh karena itulah paham mereka itu disebut sebagai paham subjektif, sedangkan para penganut paham objektif menggunakan tindakan dari si pelaku sebagai dasar peninjauan, dan oleh karena itu paham mereka juga disebut sebagai paham objektif.
Menurut para penganut paham objektif seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum, sedangkan menurut penganut paham subjektif seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu pantas dihukum karena orang tersebut telah menunjukkan perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya (Lamintang, 1984: 531-532).
Sejak seorang mempunyai niat hingga sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Dalam hal ini Loebby Loqman memberikan contoh sebagai berikut:
A mempunyai niat untuk membunuh B. untuk itu ada serangkaian perbuatan yang dilakukannya, yakni:
1. A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol;
2. A mengisi pistol dengan peluru;
3. A membawa pistol tersebut menuju ke rumah B;
4. A membidikkan pistol ke arah B;
5. A menarik pelatuk pistol, akan tetapi tembakannya meleset sehingga B masih hidup.
Dari seluruh rangkaian perbuatan tersebut, perbuatan manakah yang dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan. Apakah perbuatan A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol sudah dianggap sebagai
2002 digitized by USU digital library 8
permulaan pelaksanaan? Apabila melihat niatnya, memang perbuatan A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol adalah dalam kaitan pelaksanaan niatnya untuk membunuh B. Akan tetapi apakah A pergi ke rumah C sudah dianggap permulaan dari pelaksanaan pembunuhan ?
Contoh lain. P adalah seorang pegawai suatu kantor pos. P berkehendak untuk mencuri pos paket. Untuk itu sewaktu teman-teman sekerjanya pulang P menyelinap dan bersembunyi di kamar kecil. Akan tetapi ternyata kepala kantor P masih belum pulang dan tertangkaplah P. Dari kasus P tersebut, apakah masuknya P ke kamar kecil sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan? (1996: 18-19).
Teori Subjektif
Teori ini didasarkan kepada niat seseorang, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 KUHP bahwa “...apabila niat itu telah terwujud dari adanya permulaan pelaksanaan ... Jadi dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan adalah semua perbuatan yang merupakan perwujudan dari niat pelaku. Apabila suatu perbuatan sudah merupakan permulaan dari niatnya, maka perbuatan tersebut sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan. Pada contoh pertama, A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol, sudah merupakan permulaan dari niatnya yakni ingin membunuh B. Sehingga A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan melakukan percobaan membunuh B. Demikian juga dalam contoh kedua. P masuk ke kamar kecil sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan melakukan percobaan pencurian. Karena dengan masuknya P ke kamar kecil sudah merupakan permulaan pelaksanaan niatnya (Loqman, 1996: 19).
Menurut teori subjektif dasar patut dipidananya percobaan (strafbare poging) itu terletak pada watak yang berbahaya dari si pembuat. Jadi unsur sikap bathin itulah yang merupakan pegangan bagi teori ini (Sudarto dan Wonosutatno, 1987: 17).
Ajaran yang subjektif lebih menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP sebagai permulaan pelaksanaan dari niat dan karena itu bertolak dari sikap bathin yang berbahaya dari pembuat dan menamakan perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang menunjukkan bahwa pembuat secara psikis sanggup melakukannya (Sahetapy, 1995: 215).
Menurut van Hammel tidak tepat pemikiran mereka yang mensyaratkan adanya suatu rectstreeks verband atau suatu hubungan yang langsung antara tindakan dengan akibat, dimana orang menganggap yang dapat dihukum itu hanyalah tindakan-tindakan yang menurut sifatnya secara langsung dapat menimbulkan akibat (Lamintang, 1984: 534).
Menurut van Hammel aliran subjektiflah yang benar. Bukan saja karena aliran ini sesuai dengan nieuwere strafrechtsleer (ajaran hukum pidana yang lebih baru) yang bertujuan untuk memberantas kejahatan sampai kepada akarnya, yaitu manusia yang berwatak jahat (demisdadige mens) akan tetapi juga karena dalam mengenakan pidana menurut rumus umum (algemene formule) sebagaimana halnya dalam percobaan, unsur kesengajaan (niat) itulah unsur satu-satunya yang memberi pegangan kepada kita. Oleh karena kesengajaan (niat) dalam perbuatan percobaan adalah lebih jauh arahnya dari pada bahaya yang ditimbulkan pada suatu ketika tetapi kemudian menjadi hilang. Dan juga justru dengan adanya kesengajaan (niat) itu perbuatan terdakwa lalu 2002 digitized by USU digital library 9
menjadi berbahaya, padahal kalau perbuatan dipandang tersendiri dan terlepas dari hal- ikhwal yang mungkin akan timbul sama sekali tidak berbahaya. Apabila dengan kesengajaan untuk membunuh orang mengarahkan senapan kepada sasaran, padahal pelatuk senapan tidak terpasang, maka perbuatan tersebut hanya bersifat berbahaya karena perbuatan dilakukan oleh orang yang mempunyai kesengajaan (niat) tadi. Maka menurut van Hammel jika ditinjau dari sudut niat si pembuat, dikatakan ada perbuatan permulaan pelaksanaan jika dari apa yang telah dilakukan sudah ternyata kepastiannya niat untuk melakukan kejahatan tadi (Moelyatno, 1985 : 22).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori subjektif dapat dipidananya percobaan, karena niat seseorang untuk melakukan kejahatan itu dianggap sudah membahayakan kepentingan hukum. Sehingga niat untuk melakukan kejahatan yang telah diwujudkan menjadi suatu perbuatan dianggap telah membahayakan.
Teori Objektif
Disebut teori objektif karena mencari sandaran pada objek dari tindak pidana, yaitu perbuatan.. Menurut teori ini seseorang yang melakukan suatu percobaan itu dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum.
Ajaran yang objektif menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan dan karena itu bertolak dari berbahayanya perbuatan bagi tertib hukum, dan menamakan perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum (Sahetapy, 1995 : 216).
Jika mengacu kepada contoh kasus yang diberikan oleh Loebby Loqman di atas, dari contoh pertama peristiwa yang menjadi tujuan A adalah membunuh B. A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol bukanlah permulaan pelaksanaan agar orang meninggal dunia. Perbuatan yang paling mungkin dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dalam teori objektif dalam kasus ini adalah pada saat A menarik pelatuk pistol untuk membunuh B. Demikian pula pada kasus P. P menyelinap ke kamar kecil bukanlah permulaan pelaksanaan terhadap perbuatan yang diniatkan. Perbuatan yang diniatkan adalah mencuri. Unsur utama dari mencuri adalah mengambil, yaitu apabila seseorang telah menjulurkan tangannya untuk mengangkat/memindahkan suatu barang. Oleh karena itu menurut teori objektif P dianggap belum melakukan perbuatan yang dianggap sebagai permulaan pelaksanaan (Loqman, 1996: 20-21).
Menurut Simons, pendapat dari para penganut paham subjektif itu adalah tidak tepat, dengan alasan bahwa paham tersebut telah mengabaikan syarat tentang harus adanya suatu permulaan pelaksanaan untuk melakukan kejahatan dan telah membuat segala sesuatunya menjadi tergantung pandangan yang bersifat subjektif hakim (Lamintang, 1984 : 534).
Pendapat Hoge Raad tentang hal permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) ini dapat dilihat di arrest tanggal 7 Me 1906, W. 8372, yang menyatakan bahwa perkataan begin van uitvoering” di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP itu terutama harus dihubungkan dengan uitvoering van hetmisdrijf (pelaksanaan dari kejahatannya itu sendiri), sehingga perkataan “permulaan
2002 digitized by USU digital library 10
pelaksanaan” itu terutama harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari perbuatan untuk melakukan kejahatan”. (Lamintang, 1984 : 539).
Sebagian besar dari arrest Hoge Raad yang berkenaan dengan percobaan yang dapat dihukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP itu sangat dipengaruhi oleh pendapat Simons. Ajaran-ajaran Simons mengenai percobaan yang dapat dihukum yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap pandangan (pendapat) para anggota Hoge Raad antara lain :
a. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah dirumuskan secara formil, suatu permulaan pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan dianggap telah terjadi yaitu segera setelah kejahatan tersebut mulai dilakukan oleh pelakunya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad dalam arrest tanggal 8 Maret 1920, N.J. 1920 halaman 458, W. 10554 yang menyatakan antara lain: perbuatan menawarkan untuk dibeli dan perbuatan menghitung uang kertas yang telah dipalsukan di depan orang lain dengan maksud untuk melakukan suatu pemalsuan, menurut arrest ini merupakan suatu permulaan dari tindakan pemalsuan yang dapat dihukum.
b. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah dirumuskan secara materil, suatu percobaan yang dapat dihukum dianggap telah terjadi yaitu segera setelah tindakan yang dilakukan oleh pelakunya itu, menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh undang-undang, tanpa pelakunya tersebut harus melakukan suatu tindakan yang lain. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu antara lain dalam arrest yang terkenal tanggal 19 Maret 1934, N.J. 1934 halaman 450, W. 12731, yang dikenal dengan Eindhovense Brandstichting-arrest atau arrest pembakaran rumah di kota Endhoven.
c. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah ditentukan bahwa untuk melakukan delik-delik tersebut harus dipergunakan alat atau cara-cara tertentu, ataupun dimana penggunaan alat atau cara-cara semacam itu oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai unsur yang memberatkan hukuman, maka suatu percobaan yang dapat dihukum untuk melakukan delik-delik seperti itu dianggap telah terjadi, yaitu segera setelah pelakunya menggunakan alat atau cara yang bersangkutan untuk melakukan kejahatannya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu sebagaimana yang dapat kita lihat antara lain di dalam arrest-arrestnya masing-masing: tanggal 12 Januari 1891, W. 5990, tanggal 4 April 1932, N.J. 1932 halaman 786, W. 12515, tanggal 9 Juni 1941, N.J. 1941 No. 883 yang pada dasarnya mengatakan bahwa: pembongkaran, perusakan, atau pembukaan dengan kunci-kunci palsu dan pemanjatan itu merupakan permulaan pelaksanaan kejahatan pencurian dengan pemberatan.
Dan di dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggal 20 Januari 1919, N.J. 1919 halaman 269, W. 10389, dan tanggal 19 Mei 1919, N.J. 1919 halaman 634, W. 10424 yang pada dasarnya menyatakan bahwa: pencurian dengan perusakan itu merupakan suatu kejahatan. Dengan merusak penutup sebuah rumah, dimulailah sudah pelaksanaan pencurian tersebut. Dalam hal ini telah terjadi suatu percobaan untuk melakukan suatu pencurian dengan perusakan (Lamintang, 1984: 542).
Loebby Loqman dalam bukunya Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana memberikan beberapa contoh kasus tentang penentuan permulaan pelaksanaan menurut perspektif teori objektif :
a. Eindhovense Brandstichting arrest, kasus posisinya sebagai berikut:
A dan B bersepakat dengan C untuk membakar rumah C guna mendapatkan santunan asuransi. Sementara C bepergian ke luar kota,
2002 digitized by USU digital library 11
A dan B membuat sumbu panjang dari kain-kain bekas yang telah disiram bensin dan menaruhnya di seluruh rumah. Sumbu tersebut dihubungkan dengan pemantik kompor gas yang disambung dengan tali sedemikian rupa, sehingga nantinya hanya dengan menarik tali dari luar rumah, akan terjadi api yang akan membakar sumbu yang telah dipersiapkan. Sementara menunggu malam hari untuk melaksanakannya, A dan B meninggalkan rumah tersebut. Sementara A dan B meninggalkan rumah itu, par tetangga yang melewati rumah tersebut mencium bau bensin yang menusuk hidung, sehingga mereka curiga dan memberitahukan kepada polisi. Pada saat A dan B datang untuk melaksanakan pembakaran, dilihatnya telah banyak orang sehingga mereka melarikan diri. Namun akhirnya perkara tersebut sampai ke pengadilan dengan tuduhan mencoba melakukan pembakaran.
Jika diperinci, perbuatan-perbuatan terdakwa dapat diperinci menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah perbuatan membuat rumah siap bakar, sedangkan tahap berikutnya menarik tali pemantik kompor gas untuk pembakaran rumah tersebut. Persoalan dalam kasus ini adalah apakah telah ada perbuatan yang dianggap sebagai permulaan pelaksanaan, ataukah baru merupakan persiapan pelaksanaan untuk melakukan pembakaran rumah.
Ternyata Hoge Raad tidak memasukkan kasus ini sebagai percobaan melakukan pembakaran. Jadi bukan merupakan percobaan. MvT menyerahkan penentuan perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan kepada praktek, sehingga dalam hal ini Hoge Raad dimungkinkan untuk mencari pertimbangan dalam tiap kasus tentang apa yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan dalam suatu percobaan.
Adapun pertimbangan Hoge Raad bahwa kasus tersebut dianggap bukan sebagai permulaan pelaksanaan adalah :
(1) Perbuatan yang telah dilakukan A dan B bukan hanya merupakan kemungkinan untuk pembakaran rumah tersebut, ada kemungkinan untuk perbuatan-perbuatan lain kecuali pembakaran rumah.
(2) Perbuatan A dan B lebih bersifat sebagai perbuatan persiapan pelaksanaan, dan bukan permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP.
(3) Perbuatan yang dimaksud sebagai permulaan pelaksanaan seharusnya merupakan suatu perbuatan yang tidak diperlukan lagi adanya suatu tindakan lanjutan dari pelakunya. Tindakan menarik tali sambungan dari pemantik kompor gas, dianggap merupakan tindak lanjut dari pelaku, yang semestinya tindakan menarik tali tersebut tidak perlu ada dalam perbuatan permulaan pelaksanaan (dalam hal ini permulaan pelaksanaan dianggap ada jika A atau B menarik tali tersebut).
(4) Mungkin saja dalam kasus ini terjadi hal-hal yang tidak terduga sehingga pembakaran tidak akan terjadi, umpamanya :
- Pemantik kompor gas menjadi macet;
- Sumbu yang diberi bensin tidak mau menyala;
- Api tidak merambat, meskipun sebagian sumbu telah menyala;
2002 digitized by USU digital library 12
- Ada yang menepiskan tangan sewaktu tangan itu sedang akan menarik tali.
Apabila diperhatikan ternyata dalam kasus di atas Hoge Raad lebih menggunakan teori objektif, dengan menyebutkan alasan yang pertama (1) di atas. Di samping itu juga menyebutkan bahwa apa yang dilakukan A dan B merupakan persiapan pelaksanaan (2) seperti yang dianut dalam teori objektif. Alasan (3) dan (4) Hoge Raad malah memberikan contoh-contoh tentang kapan suatu perbuatan dianggap sebagai permulaan pelaksanaan.
b. Hammer Arrest (Kasus Palu) yaitu putusan Hoge Raad tanggal 21 Mei 1951, N.J. 1951, 480 yang kasus posisinya sebagai berikut:
A seorang pria yang menjalin hubungan asmara dengan B seorang wanita yang telah bersuami, yakni C. A dan B bersepakat untuk membunuh C dengan jalan akan memukul C pada waktu C tidur, dan setelah C pingsan akan menempatkannya di dapur dan akan dibuka saluran gas di dapur, sehingga C akan meninggal karena keracunan gas. Pada suatu malam yang telah ditentukan, B memberikan kunci rumah kepada A sehingga A dapat masuk ke rumah B dan selanjutnya masuk ke kamar tidur, A menghempaskan palu ke arah kepala namun tidak mengenai kepala C, karena kebetulan C menggeser badannya/kepalanya pada saat yang tepat. C terbangun dan melakukan perlawanan. A memukul C beberapa kali dan melarikan diri dari rumah tersebut.
Di tingkat kasasi terdakwa mengutarakan bahwa, pertimbangan Pengadilan Tinggi yang menyatakan perbuatan A dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dalam suatu niat untuk pembunuhan adalah tidak tepat. Karena dianggap rencana pembunuhannya adalah dengan cara menempatkan korban di dapur dan saluran gas akan dibuka agar korban meninggal karena keracunan gas, bukan dengan memukul palu.
Dalam perkara tersebut Hoge Raad ternyata memutuskan bahwa apa yang dilakukan terdakwa telah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan. Apabila seseorang dengan pertimbangan yang masak dan dengan tenang sebelumnya untuk melakukan pembunuhan, apalagi sebelumnya telah dipersiapkan pemukul dan masuk ke rumah korban dengan kunci yang telah dipersiapkan sebelumnya, lalu masuk ke kamar tidur, hal itu sudah merupakan perwujudan dari pembunuhan yang diniati.
Telah direncanakan sebelumnya ada 2 tahap dalam melaksanakan pembunuhan. Yang pertama adalah memukul korban hingga pingsan, tahap kedua adalah menempatkan korban di dapur, membuka selang gas, sehingga korban akan meninggal karena keracunan gas. Dengan demikian tahap pertama sudah dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan dari perbuatan yang diniati.
Apabila dibandingkan antara putusan perkara Eindhovense Brandstichting dan Kasus Palu, terhadap kedua-duanya dipakai teori objektif. Namun dalam perkara Eindhovense Brandstichting perbuatan tahap pertama yaitu perbuatan rumah siap dibakar dianggap belum merupakan perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sedangkan dalam kasus Palu perbuatan tahap pertama
2002 digitized by USU digital library 13
yaitu pemukulan dengan palu agar korban jatuh pingsan, dianggap telah merupakan perwujudan dari perbuatan yang diniatinya.
Dengan demikian Hoge Raad dalam kedua putusannya itu telah memakai teori objektif, meskipun dengan menggunakan rumusan yang disesuaikan dengan keadaan yang konkrit (Loqman, 1996 : 20-29).
Jika perbandingan kasus Eindhovense Brandstichting dan kasus palu ini digambarkan dalam suatu bagan pertahapan akan terlihat seperti berikut ini (Sahetapy, 1995 : 221):
Putusan
Tahap I
Tahap II
Pembakaran 1934
Membuat rumah siap bakar (belum)
Menarik tali
Kasus Palu 1951
Memukul pingsan
dengan martil
Meracuni di dapur.
Keterangan :
Hoge Raad memutuskan :
- dalam tahun 1934: tahap I belum permulaan pelaksanaan
- dalam tahun 1951: tahap I sudah permulaan pelaksanaan.
Khusus terhadap arrest Hoge Raad dalam Eindhovense Brandstichting, mendapat tantangan dari beberapa penulis. Menurut van Bemmelen berdasarkan putusan Hoge Raad terhadap kasus Eindhovense Brandstichting itu, tidak dapat diragukan lagi bahwa objectieve pogingsleer (paham objektif dan paham subjektif) telah dilaksanakan secara menyimpang sehingga keluar dari batas-batas semestinya. Walaupun cara memandang suatu masalah oleh kedua paham (paham objektif dan paham subjektif) itu berbeda, tetapi dalam memecahkan masalah apakah seseorang dapat dihukum atau tidak seharusnya jawabannya mengarah kepada hasil yang sama (Lamintang, 1984: 543).
Dalam perkembangan selanjutnya Hoge Raad telah memperlunak syarat zonder enig nader ingrijpen van de dader (tanpa suatu tindakan yang lain dari si pelaku), dalam peristiwa-peristiwa pembakaran seperti yang dimaksud di atas, yaitu dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan mencoba menarik ujung tali semacam itu dapat dianggap sebagai suatu begin van uitvoeringshandelingen (permulaan pelaksanaan) yang telah dapat dihukum (Lamintang, 1984: 544).
Loebby Loqman dalam hal ini juga menyatakan bahwa dalam perkembangan yang terjadi di Belanda, ternyata didapati teori objektif yang diperlunak (gematigd objectieveleer), yakni dalam kasus Cito, yang kasus posisinya adalah sebagai berikut:
Dua orang bertopeng dan bersenjata dengan membawa tas menuju ke Biro Penyiaran Cito dengan maksud melakukan perampokan. Mereka membunyikan bel akan tetapi pintu tidak dibuka. Pada saat itu mereka ditangkap.
Dalam putusan Hoge Raad bulan Oktober 1978, N.J., 1979-52 memberikan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan. Karena menurut bentuk perwujudannya harus dipandang sebagai diarahkan untuk menyelesaikan kejahatan pencurian dengan kekerasan. Jadi dalam hal ini telah terjadi percobaan yang dapat dipidana
2002 digitized by USU digital library 14
yaitu kejahatan dari Pasal 365 KUHP, pencurian dengan kekerasan (1996: 30).
Van Veen memberikan catatan tentang putusan ini, bahwa pada delik yang dikwalifikasikan lebih banyak terdapat permulaan pelaksanaan daripada delik pokoknya. Delik yang dikualifikasi didahului oleh bayangannya, dengan kata lain bersenjata, bertopeng dan membunyikan bel adalah permulaan pelaksanaan dari suatu kejahatan pencurian dengan kekerasan, tetapi jika tidak bersenjata, tidak bertopeng dan membunyikan bel dianggap bukan sebagai permulaan pelaksanaan dari pencurian biasa . Menurut bentuk perwujudannya dari luar mengebel demikian belum tentu tertuju pada penyelesaian kejahatan (Sahetapy, 1995: 226).
Menurut van Bemmelen, kedua metode baik metode objektif maupun metode subjektif, jika diberlakukan secara terlalu kaku akan menjurus kepada ketidakbenaran. Karena paham subjektif itu telah mengartikan hubungan kausal secara terlalu luas, sehingga seseorang telah dapat dihukum sebagai seorang pelaku atau dalam masalah poging sebagai orang yang telah melakukan percobaan. Padahal hubungan antara tindakan mereka dengan akibat akhirnya itu terlalu jauh atau tindakan mereka itu tidak mendatangkan bahaya yang begitu besar untuk dapat menimbulkan suatu akibat itu. Sebaliknya paham objektif murni tidak akan menghukum mereka yang telah menunjukkan adanya sifat berbahaya dan telah diwujudkan dengan tindakan-tindakan nyata. Dalam hal ini van Bemmelen memberikan contoh seperti kasus Eindhovense Brandstichting (Lamintang, 1984 : 543).
Sebagai contoh umpamanya A ingin membunuh B, ternyata A dan B ini berada di kota yang berbeda. Untuk melakukan pembunuhan A harus membeli karcis kereta api menuju ke kota dimana B bertempat tinggal. Dalam hal ini apakah perbuatan A membeli karcis kereta api sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan? Perbuatan membeli karcis merupakan perbuatan yang masih jauh dari kejahatan yang menjadi niat A, yaitu membunuh B, tetapi jelas ada hubungannya dengan niat A tersebut (Loqman, 1996: 22).
Oleh karena itu menurut van Bemmelen, perlu adanya suatu tussenopvatting (paham antara) diantara paham subjektif dan paham objektif, yang memandang suatu uitvoeringshandelingen (tindakan pelaksanaan) itu sebagai tindakan yang mendatangkan bahaya bagi kemungkinan timbulnya akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Bahaya yang dimaksud itu haruslah dianggap telah ada yaitu jika pelakunya telah menciptakan sejumlah keadaan yang menurut pengalaman manusia, tanpa masih diperlukan lebih banyak hal yang lain, dapat menimbulkan keadaan yang lain lagi. Jika sejumlah keadaan telah tercipta, dimana keadaan semacam itu telah menimbulkan suatu bahaya bagi kemungkinan timbulnya keadaan yang lain, maka sebenarnya tindakan seorang pelaku itu telah mencapai suatu tingkat tertentu dimana tindakannya itu telah dapat disebut sebagai suatu uitvoeringshandelingen atau tindakan pelaksanaan (Lamintang, 1984: 543-544).
Pandangan Moeljatno tentang Permulaan Pelaksanaan
Menurut Moeljatno, suatu perbuatan dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dari delik yang dituju oleh si pelaku, jika memenuhi tiga syarat. Syarat pertama dan kedua diambil dari rumusan percobaan Pasal 53 KUHP, sedangkan syarat yang ketiga diambil dari sifat tiap-tiap delik. Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
2002 digitized by USU digital library 15
a. Secara objektif apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang dituju. Atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut.
b. Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu, ditujukan atau diarahkan kepada delik yang tertentu tadi.
c. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum (Moeljatno, 1985: 28-29).
Selanjutnya Moeljatno menyatakan bahwa berkenaan dengan ketiga syarat tentang permulaan pelaksanaan tersebut perlu dikemukakan catatan-catatan sebagai berikut:
a. Oleh karena delik yang dituju tidak diketahui, lebih dahulu bahkan harus ditetapkan, antara lain dengan mengingat perbuatan yang telah dilakukan. Maka istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP tidak mungkin mempunyai arti yang tetap.
b. Karenanya juga tidak mungkin dipakai pegangan untuk menentukan, apakah sudah ada percobaan yang dapat dipidana atau belum. Untuk ini (yaitu untuk menentukan delik yang dituju) diperlukan adanya bukti-bukti di luar wet.
c. Sehubungan dengan ini, meskipun perbuatan yang dilakukan ini mungkin dipisahkan dari unsur niat, tapi dalam pada itu jangan lalu berpendapat bahwa isinya niat hanya mungkin dibuktikan dari perbuatan yang telah dilakukan saja (1985: 29).
Khusus untuk catatan yang ketiga (c) seperti yang tersebut di atas Moeljatno secara khusus mengutip beberapa contoh yang dikemukakan oleh Noyon yaitu :
- Bagaimana dapat dibuktikan seseorang dengan penggunaan nama palsu atau tipu daya yang disertai dengan permintaan untuk memberikan suatu benda, bahwa orang tersebut juga betul-betul berminat untuk mendapatkan benda tersebut. Mungkin saja ia hanya bermaksud untuk membuktikan bagaimana mudahnya orang lain itu mempercayainya.
- Mengulurkan tangan ke arah barang orang lain, dengan itu saja tidak mungkin dibuktikan kehendak untuk mengambil barang tersebut. Apalagi mengambil dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
- Membawa api ke barang yang mudah dibakar, dengan itu saja tidak dapat dibuktikan adanya niat untuk membakar barang tersebut.
- Melukai seseorang tidak mungkin membuktikan adanya niat untuk membunuh (Moeljatno, 1985: 30-31).
Dengan demikian menurut Loebby Loqman, sebenarnya pandangan Moeljatno adalah campuran antara kedua teori yakni campuran antara teori objektif dan teori subjektif. Hal terpenting bagi Moeljatno adalah sejauhmana sifat melawan hukum dari perbuatan yang dipermasalahkan sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan (Loqman, 1996: 22).
Suatu hal yang dapat diketahui dalam hal ini bahwa untuk menentukan telah adanya suatu perbuatan permulaan pelaksanaan adalah sangat sulit. Adanya permulaan pelaksanaan itu tidak dapat diketahui hanya dengan mengetahui niat seorang pelaku yang telah terwujud dalam suatu perbuatan (tindakan) yang adanya suatu perbuatan (tindakan) yang sedemikian langsung (dekat) dengan delik yang akan dituju. Selain kedua hal tersebut perlu kiranya
2002 digitized by USU digital library 16
diperhatikan keadaan atau situasi yang terjadi pada saat seorang pelaku itu mewujudkan niatnya ke dalam suatu bentuk perbuatan, sehingga perbuatan tersebut nantinya dapat disebut sebagai perbuatan permulaan.
2. Permulaan Pelaksanaan Menurut RUU KUHP Nasional
Pasal 17 ayat (2) menyebutkan :
Dikatakan ada permulaan pelaksanaan, jika pembuat telah melakukan:
a. perbuatan melawan hukum;
b. secara objektif perbuatan itu langsung mendekatkan pada terjadinya tindak pidana; dan
c. secara subjektif tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan pada terjadinya tindak pidana.
Menurut Penjelasan Pasal 17 RUU KUHP Nasional, permulaan pelaksanaan merupakan perbuatan yang sudah sedemikian rupa berhubungan dengan tindak pidana, sehingga dapat dinilai bahwa pelaksanaan tindak pidana telah dimulai. Permulaan pelaksanaan dibedakan dari perbuatan persiapan, karena jika perbuatan yang dilakukan masih merupakan persiapan, maka perbuatan tersebut tidak dipidana.
Suatu perbuatan dinilai merupakan permulaan pelaksanaan, jika :
a. Secara objektif, apa yang telah dilakukan harus mendekatkan dengan tindak pidana yang dituju. Atau dengan kata lain, sudah mampu atau mengandung potensi untuk mewujudkan tindak pidana tersebut:
b. Secara subjektif, dilihat dari niat pembuat tidak diragukan lagi perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mewujudkan tindak pidana:
c. Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Untuk dapat dikatakan bahwa telah ada permulaan pelaksanaan pasal 17 RUU KUHP Nasional pada dasarnya telah mengabsorbsi pandangan Moeljatno tentang masalah permulaan pelaksanaan. Hanya saja terhadap pandangan Moeljatno tersebut dilakukan penyempurnaan bahasa berupa beberapa perubahan redaksi yang disesuaikan dengan istilah dan maksud yang terdapat di dalam RUU KUHP Nasional.
Dalam dogmatik hukum pidana istilah “sifat melawan hukum” tidak selalu berarti sama. Ada empat makna yang berbeda tetapi dinamakan sama yaitu:
a. Sifat melawan hukum umum
Sifat melawan hukum umum adalah sifat melawan hukum sebagai syarat tak tertulis untuk dapat dipidana. Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan, dengan sendirinya berlaku syarat bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum, yang dalam hal ini berarti bertentangan dengan hukum, tidak adil. Umumnya terjadi jika perbuatannya bersifat melawan hukum formal dan tidak ada alasan pembenar.
Sifat melawan hukum umum (sifat melawan hukum sebagai bagian dari undang-undang) merupakan syarat umum untuk dapat dipidana terdapat di dalam rumusan pengertian perbuatan pidana: Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela (Sahetapy, 1995: 43).
b. Sifat melawan hukum khusus
Adakalanya kata “bersifat melawan hukum” tercantum secara tertulis dalam rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum yang merupakan syarat tertulis 2002 digitized by USU digital library 17
untuk dapat dipidana. Sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik dinamakan: sifat melawan hukum khusus.
Sifat melawan hukum khusus (sifat melawan hukum sebagai bagian dari undang-undang) mempunyai arti khusus dalam tiap-tiap rumusan delik. Sifat melawan hukum ini menjadi bagian dari undang-undang dan dapat dinamakan suatu faset dari sifat melawan hukum umum. Ini harus ditafsirkan menurut konteks sosialnya (Sahetapy, 1995: 39)..
c. Sifat melawan hukum formal
Sifat melawan hukum formal berarti semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana). Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik dari undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan bersumber pada asas legalitas (Sahetapy, 1995: 39).
d. Sifat melawan hukum materiel
Sifat melawan hukum materiel berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Sifat melawan hukum materiel berarti bahwa karena perbuatan itu, kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tertentu telah dilanggar (Sahetapy, 1995: 39).
C. Pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku
1. Menurut KUHP
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku.
Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.
Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di dalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain di luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.
Loebby Loqman (1996: 31) memberikan contoh sebagai berikut:
a. Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N.J. 1952 No. 670 tentang percobaan pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat.
A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu A dengan menarik pisau yang telah dipersiapkan memasuki ruangan dimana B pada waktu itu berada. Dengan berjalan membungkuk dan dengan
2002 digitized by USU digital library 18
pisau di tangan A menuju ke arah B berada. Akan tetapi perbuatan A sempat ditahan oleh beberapa orang yang berada di dalam ruangan, sedangkan B lari meninggalkan ruangan tersebut.
Terdakwa dalam kasus di atas dituduh melakukan percobaan pembunuhan, dan subsidair melakukan percobaan penganiayaan berat. Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak selesainya pembunuhan atau penganiayaan berat oleh karena “setidak-tidaknya hanya karena satu atau lebih keadaan di luar kehendaknya”.
Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang hadir pada saat perbuatan dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang semula dikehendakinya. Akan tetapi yang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena A melihat adanya perubahan wajah B pada saat itu dan karena jeritan orang banyak sehingga A tidak “tega” meneruskan perbuatan yang dikehendaki semula.
Meskipun demikian Pengadilan Arnhem dalam pertimbangannya memberikan putusan bahwa kasus tersebut tetap sebagai percobaan. Pengunduran diri dalam kasus di atas meskipun ada faktor yang datang dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari luar memaksanya untuk mengundurkan diri.
b. Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengundurkan diri dari niatnya secara sukarela. Percobaan seperti ini disebut sebagai voltooide artinya meskipun seseorang telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul niatnya untuk secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula, namun ternyata hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan.
Sebagai contoh:
Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan sedang memberikan keterangannya. Karena dianggap memberikan kesaksian yang tidak benar, Hakim memperingatkan dapat dipidananya orang yang memberikan keterangan tidak benar karena delik “kesaksian palsu”. Dalam hal demikian dianggap orang tersebut telah melakukan delik. Yakni delik kesaksian palsu terhadap keterangan sebelumnya yang telah diberikan dalam sidang itu. Meskipun dikaitkan dengan percobaan, sebenarnya orang tersebut ingin menarik diri secara sukarela terhadap perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar di depan sidang pengadilan.
Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus seperti di atas, dianggap sebagai pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena dengan sukarela orang tersebut menarik kembali keterangan yang tidak benar.
Akan tetapi melihat putusan Hoge Raad tahun 1952 memutuskan bahwa telah melakukan suatu delik selesai (delik kesaksian palsu) terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya setelah penundaan sidang.
c. Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu keadaan seorang yang melakukan suatu percobaan kejahatan, sementara itu telah terjadi delik lain yang telah selesai. Peristiwa ini disebut dengan guequalificeerde poging (percobaan yang dikwalifikasi).
Sebagai contoh :
2002 digitized by USU digital library 19
Seorang yang berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam sebuah rumah. Untuk itu orang tersebut telah memasuki halaman rumah tersebut. Akan tetapi sebelum memasuki rumah sudah tertangkap. Dalam hal ini orang tersebut disamping dianggap melakukan percobaan pencurian (jika dilihat dari teori subjektif) juga telah melakukan delik yang selesai. Yakni delik memasuki halaman tanpa izin (Huisvredebruik) seperti yang diatur dalam Pasal 167 KUHP.
Menurut Barda Nawawi Arief tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya penghalang fisik.
Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistolnya terlepas.
Termasuk dalam pengertian ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang digunakan misal pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.
Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada objek yang menjadi sasaran.
Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan; barang yang akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga (Arief, 1984: 15).
Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Sering dirumuskan bahwa ada pengunduran diri sukarela, jika menurut pandangannya, ia masih dapat meneruskan perbuatannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya.
Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat dibedakan antara :
a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan; dan
b. Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut. Misal: orang memberi racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal (Arief, 1984: 16).
Adapun maksud dicantumkannya syarat pengunduran secara sukarela menurut Memori Penjelasan (Memorie van Toelichting) tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) adalah untuk :
a. Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan niatnya secara sukarela tidak dapat dihukum. Apabila ia dapat membuktikan
2002 digitized by USU digital library 20
bahwa pada waktunya yang tepat ia masih mempunyai keinginan untuk membatalkan niatnya yang jahat; dan
b. Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang berlangsung (Lamintang, 1984: 545).
Adapun maksud dicantumkan syarat pengunduran secara sukarela menurut Memori Penjelasan (Memorie Van Toelichting) tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) adalah:
a. Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan niatnya secara sukarela tidak dapat dihukum, apabila ia dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat ia masih mempunyai keinginan untuk membatalkan niatnya yang jahat; dan
b. Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang berlangsung (Lamintang, 1984: 545).
Di dalam beberapa literatur yang membahas tentang percobaan ada suatu istilah yang disebut dengan Ondeugelijke Poging.
Ondeugdelijke poging adalah suatu perbuatan meskipun telah ada perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan, akan tetapi oleh karena sesuatu hal, bagaimana perbuatan yang diniatkan itu tidak mungkin akan terlaksana. Dengan kata lain suatu perbuatan yang merupakan percobaan, akan tetapi melihat sifat dari peristiwa itu, tidak mungkin pelaksanaan perbuatan yang diniatkan akan terlaksana sesuai dengan harapannya. (Loqman, 1996: 35).
Ondeug-delijke Poging (percobaan tidak memadai) ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut undang-undang tidak timbul (Arief, 1984:18).
Ada 2 hal yang mengakibatkan tidak sempurnanya percobaan tersebut, pertama karena alat (sarana) yang dipergunakan tidak sempurna dan yang kedua objek (sasaran) tidak sempurna. Masing-masing ketidaksempurnaan itu ada 2 macam, yaitu tidak sempurna secara mutlak (absolut) dan tidak sempurna secara nisbi (relatif).
Loebby Logman (1996: 35) memberikan contoh secara terperinci sebagai berikut:
1. Ketidaksempurnaan sarana (alat)
a. Ketidaksempurnaan sarana secara mutlak
Contoh :
A ingin membunuh B dengan menggunakan racun arsenicum. Pada saat B lengah A memasukkan arsenicum ke dalam minuman B. Namun B tetap hidup karena ternyata yang dimasukkan ke dalam minuman B bukan arsenicum tetapi gula pasir.
b. Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi
Contoh :
Peristiwanya seperti di atas, tetapi A memberikan racun arsenicum ke dalam minuman B dalam dosis yang tidak mencukupi sehingga A tetap hidup.
2002 digitized by USU digital library 21
2. Ketidaksempurnaan sasaran (objek)
a. Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak
Contoh :
A ingin membunuh B. Pada suatu malam A masuk ke kamar tidur B dan menikam B. Ternyata bahwa B telah meninggal dunia sebagai ditikam A. Dalam hal ini A tidak mengetahui karena kamar tidur B dalam keadaan gelap. Jadi A menikam mayat.
b. Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi
Contoh :
A ingin membunuh B. B mengetahui bahwa dirinya terancam oleh A, sehingga B selalu keluar rumah dengan menggunakan rompi anti peluru di dalam bajunya. Ketika terjadi penembakan oleh A, meskipun mengenai dada B, karena menggunakan rompi anti peluru B tidak mati.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena objeknya, MvT mengemukakan :
Syarat-syarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu di dalam Buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diperlukan adanya objek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka juga tidak ada percobaan (Arief, 1984: 18).
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, MvT membedakan antara :
a. Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai; dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan. Mr.Karni memberi contoh : meracuni dengan air kelapa.
b. Tidak mampu relatif, bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada.
Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan.
Dari apa yang dikemukakan M.v.T di atas terlihat bahwa ketidakmampuan relatif dapat dilihat dari 2 segi:
a. keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan perbuatan.
b. Keadaan tertentu dari orang yang dituju (Arief, 1984: 19).
Hal penting untuk diketahui adalah apakah dengan tidak sempurnanya alat ataupun objek, dapat dianggap telah terjadi suatu percobaan. Jika dilihat dari syarat-syarat terjadinya suatu percobaan maka pelaku telah memenuhi 3 syarat percobaan,yaitu ada niat untuk melakukan suatu kejahatan, dan sudah mewujudkan niat tersebut ke dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan. Tetapi delik yang dituju itu tidak selesai (tidak terjadi) karena adanya faktor eksternal dari diri orang itu, yaitu karena alatnya atau objeknya itu tidak sempurna. Apakah dapat dikatakan telah terjadi suatu percobaan melakukan pembunuhan jika A menghujamkan pisau ke dada B, yang ternyata B telah mati terlebih dahulu disebabkan oleh hal lain? Atau apakah dapat dihukum C yang hendak membunuh D, dengan cara memberikan racun ke dalam minuman D yang ternyata racun tersebut adalah gula?
2002 digitized by USU digital library 22
Dalam hal seperti ini, tergantung dari teori mana kita melihatnya, apakah kejadian tersebut dapat dipidana. Bagi mereka yang menggunakan teori subjektif, tidak ada perbedaan antara ketidaksempurnaan mutlak maupun ketidaksempurnaan nisbi, karena dianggap dari semula pelaku sudah mempunyai niat untuk melakukan kejahatan. Untuk itu pelaku telah mewujudkan dengan adanya perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sehingga dengan demikian peristiwa tersebut sudah merupakan suatu perbuatan percobaan melakukan kejahatan. Namun tidak demikian halnya denga teori objektif, hanya ketidaksempurnaan mutlak saja yang tidak dapat dipidana. Sebab dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin menyelesaikan kejahan yang menjadi niat pelaku. Karena itu dianggap tidak mungkin membahayakan kepentingan hukum. Bagi teori objektif, ketidaksempurnaan nisbi sebenarnya telah sampai kepada penyelesaiaan kejahatan yang diniatkan pelaku. Hanya saja ada suatu keadaan sedemikian rupa sehingga kemungkinan penyelesaiannya berkurang. Menurut teori objektif, hal demikian telah membahayakan kepentingan hukum sehingga pelaku perlu dipidana. Sedangkan untuk ketidaksempurnaan mutlak, baik sasaran maupun sarana, dianggap tidak merupakan hal yang membahayakan kepentingan hukum sehingga tidak perlu pelaku dipidana. Apa yang dilakukan pelaku tidak sampai kepada hal yang dimaksudkan untuk kejahatan itu. Karena nyata-nyata sarana ataupun sasarannya mutlak salah (Loqman, 1996: 37).
Dengan melihat putusan perkara “Uang Sen Logam” Hoge Raad ternyata mempergunakan teori objektif. Putusan Hoge Raad tanggal 7 Mei 1906, No.W.8372 menyatakan membebaskan seorang wanita yang berminggu-minggu merendam beberapa keping sen tembaga ke dalam air mendidih, dimana air tersebut dipakai untuk membuat teh minuman suaminya, dengan harapan suaminya mati karena keracunan air tembaga. Menurut saksi ahli tembaga hasil rendaman uang logam tidaklah meracuni seseorang (Loqman, 1996: 37).
2. Menurut RUU KUHP Nasional
Berdasarkan ketentuan RUU KUHP Nasional diatur tentang percobaan yang tidak dipidana, yaitu apabila tidak selesainya perbuatan itu atas kemauan (kehendak) pembuat sendiri. Namun jika percobaan itu telah menimbulkan kerugian atau telah merupakan suatu tindak pidana tersendiri, maka tetap dipidana.
Di dalam Pasal 18 RUU KUHP Nasional disebutkan bahwa seseorang tidak dapat dihukum karena percobaan melakukan tindak pidana jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela, Selain itu jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat juga tidak dipidana. Namun jika perbuatan permulaan pelaksanaan itu telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Pasal 18 RUU KUHP Nasional menyebutkan:
(1) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana.
(2) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana.
2002 digitized by USU digital library 23
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana sendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Selain itu di dalam Pasal 20 RUU KUHP Nasional diatur secara khusus tentang ketidakmampuan alat yang digunakan dan ketidakmungkinan objek yang dituju, dimana perbuatan pelaksanaan telah dilakukan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat terlarang menurut undang-undang tidak timbul (Ondeug-delijk Poging).
Pasal 20 RUU KUHP Nasional menyebutkan:
Jika tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau tidak kemampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari ½ (satu per dua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.
Di dalam Penjelasan Pasal tersebut disebutkan bahwa ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmungkinan objek tindak pidana yang dituju dapat terjadi secara relatif atau mutlak. Dalam hal ketidakmampuan alat atau ketidakmungkinan objek secara relatif, percobaan itu telah membahayakan kepentingan hukum, hanya karena sesuatu hal tindak pidana tidak terjadi. Dalam hal ketidakmampuan alat atau ketidakmungkinan objek secara mutlak, tidak akan ada bahaya terhadap kepentingan hukum. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka yang dipergunakan adalah teori percobaan subjektif.
2002 digitized by USU digital library 24

                                                               Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi, 1984, sari Kuliah Hukum Pidana II, Universitas Diponegoro, Semarang.
Kanter, E.Y., dan s.r. Sianturi, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta.
Lamintang, P.A.F. dan C. Djisman Samosir, 1983, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.
Lamintang, P.A.F., 1984, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.
Loqman, Loebby,1996, Percobaan,Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana, Universi-tas Tarumanagara, Jakarta.
Moeljatno, 1985, Delik-Delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta.
Schaffmeister,D., N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor: J.E. Sahetapy, Liberty, Yogyakarta.
Soesilo, R., 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politea, Bogor.
Sudarto, dan wonosutanto, 1987, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, Program Kekhususan Hukum Kepidanaan Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
2002 digitized by USU digital library 25




Tidak ada komentar:

Posting Komentar